Kiat Menarik Pengunjung

Museum tanpa pengunjung adalah gudang barang rongsokan. Keberadaan museum baru akan membawa makna, apabila museum dikunjungi oleh anggota masyarakat yang dapat memanfaatkan fasilitas yang ada di dalam museum itu. Sementara itu, orang tentu tidak akan banyak datang ke museum, kalau museum tidak peduli pada masyarakat yang menjadi calon pengunjungnya. Karena itu, museum semestinya dikelola dengan benar-benar mempedulikan masyarakat yang menjadi target kunjung museum (Tanudirjo, 2009).  Masalahnya sekarang, bagaimana museum dapat menarik minat masyarakat untuk mengunjunginya ?

Jawabannya memang tidak mudah.  Menarik minat masyarakat untuk berkunjung ke museum bukan pekerjaan kecil, karena harus direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu dan menyeluruh.  Artinya, upaya menarik pengunjung tidak dapat dilakukan hanya oleh salah satu bagian dari museum saja (misalnya, kehumasan, pemasaran, pameran, atau pemandu), tetapi harus melibatkan semua bagian museum secara bersama-sama dan saling terkait.  Itikad untuk menarik minat pengunjung harus disadari benar oleh seluruh bagian pengelola museum, dari karyawan pembersih, petugas keamanan, kurator, hingga pemimpin tertinggi.  Hal ini akan dapat semakin dipahami jika kita mengetahui kompleksitas masalah yang ada terkait dengan minat pengunjung. Uraian di bawah ini mencoba memberikan sejumlah kiat atau cara menarik pengunjung mulai dari penciptaan pra-kondisi hingga beberapa petunjuk praktis.  Tentu uraian ini, tidak dapat disampaikan secara rinci benar, tetapi setidaknya dapat memberikan gambaran umum yang dapat memancing pemikiran untuk mengembangkan upaya-upaya menarik minat pengunjung di setiap museum.

 Prakondisi

Sebagaimana pernah dikemukakan, keberhasilan suatu museum akan ditentukan oleh hubungan baik antara pengelola museum – pengunjung – koleksi.  Terciptanya hubungan yang baik antara ketiga unsur tersebut harus dijadikan prakondisi untuk menarik minat pengunjung ke museum.  Dalam konteks ini, setidaknya ada tiga hal yang harus dilakukan oleh pengelola museum sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap keberhasilan museum, yaitu kenali diri sendiri, kenali sumberdaya yang dimiliki, dan kenali khalayak.

Mengenali diri sendiri berarti harus mengetahui ideologi museum dan perangkat pelaksanaannya.  Ideologi museum adalah visi dan misi dari museum itu sendiri yang harus ditetapkan dan dipahami bersama seluruh pengelola untuk selanjutnya dapat dituangkan dalam kebijakan, strategi, dan program museum. Visi dan misi suatu museum tentu harus bersifat khas bahkan unik, sehingga museum-nya pun akan menjadi khas dan tidak ditemui duanya.  Dengan demikian, calon pengunjung tidak mempunyai alternatif lain kecuali berkunjung ke museum ini. Termasuk upaya mengenali diri sendiri adalah mengetahui kedudukan museum di tengah masyarakat, para stakeholders, dan di antara berbagai lembaga kemasyarakatan lain, termasuk lembaga pesaingnya seperti mall, taman hiburan, dan tempat lainnya yang banyak dikunjungi orang.  Pengelola harus mampu memetakan posisi dan keterkaitan dengan lembaga-lembaga tersebut, sehingga mengetahui kelebihan dan kekurangan yang ada.

Mengenali sumberdaya yang dimiliki berarti mengetahui dengan rinci sumberdaya apa saja yang dimiliki dan bagaimana kondisinya, di antaranya prasarana dan sarana yang ada, koleksi museum, sumberdaya manusia, dan sumberdaya keuangan. Dengan pengetahuan ini, pengelola akan dapat menentukan strategi dan program untuk menarik minat pengunjung yang tepat sesuai dengan kemampuan.  Salah satu komponen sumberdaya yang penting dalam kaitan ini adalah gedung museum.  Gedung museum menjadi salah satu aspek penting untuk menarik minat pengunjung, karena gedung museum akan memberikan kesan daya tarik pertama bagi pengunjung.  Jika gedung museum terkesan suram, kumuh, dan “biasa-biasa” saja tentu tidak akan menarik minat berkunjung. Biasanya, gedung museum dirancang dengan gaya yang khas, menarik, dan mencerminkan filosofi tertentu.  Gedung museum lalu menjadi ” ikon” dan juga “tetenger” (landmark) di lingkungannya.  Museum yang menempati gedung lama atau cagar budaya pun harus dapat ditampilkan dengan cara khas, anggun dan menarik, apabila ingin banyak dikunjungi.  Koleksi museum adalah modal utama.  Karena itu, pengelola harus benar-benar mengetahui benar koleksi museumnya, sehingga dapat menentukan koleksi apa yang dapat menjadi daya tarik utama museum tersebut. Museum harus memiliki koleksi andalan (masterpiece) untuk mendatangkan pengunjung.  Selain itu, sumberdaya manusia menjadi unsur yang tidak kalah penting. Pengelola harus tahu kelebihan dan kekurangan sumberdaya manusia, baik dalam kuantitas, kompetensi, maupun kinerjanya dari tataran yang paling bawah hingga atas, termasuk juga apabila memililki sukarelawan atau mitra museum (Tanudirjo, 2010). Pemetaan sumberdaya manusia juga akan mengetahui perlu tidaknya staff khusus kehumasan dan pemasaran. Meskipun ada staf khusus kehumasan dan pemasaran, pada hakekatnya semua staf museum harus juga memahami secukupnya konsep kehumasan dan pemasaran itu (Dean, 1996)

Mengenali khalayak berarti mencoba mendapat pengetahuan yang cukup mendalam tentang pengunjung maupun masyarakat calon pengunjung yang menjadi sasaran (target) bagi museum.  Museum harus tahu pangsa pasar-nya, khalayak seperti apa yang ingin ditarik minat-nya untuk mengunjungi museum. Apakah museum terutama ditujukan untuk anak-anak, para remaja, orang dewasa, atau umum (campuran).  Di sisi lain, museum juga harus tahu apa yang dikehendaki atau harapan masyarakat terhadap museum (Dean, 1996).  Karena itu, berbagai penelitian pengunjung dan masyarakat bukan pengunjung perlu dilakukan (Tanudirjo, 2009).

Setelah pengelola mengetahui prakondisi museumnya, maka dapat disusun strategi dan langkah-langkah yang tepat untuk menarik minat pengunjung. Secara umum, strategi itu dapat meliputi berbagai kiat yang terkait dengan cara-cara membentuk citra museum di tengah masyarakat, memperkuat sajian dalam museum, meningkatkan pelayanan masyarakat, dan strategi khusus pemasaran museum.  Memang sebagian besar tugas menarik minat pengunjung sebenarnya terutama menjadi tanggung jawab bidang kehumasan (public relation) bersama dengan bidang pemasaran.  Namun, sayang justru bidang-bidang ini umumnya tidak dimiliki oleh museum-museum di Indonesia.  Karena itu, sudah saatnya museum-museum Indonesia memikirkan tentang masalah ini (Tanudirjo, 2003)

Membentuk Citra di Masyarakat

Minat berkunjung tidak lepas dari citra dan pengetahuan orang tentang apa yang akan dikunjunginya. Karena itu, membentuk citra museum yang menarik dan layak dikunjungi perlu dilakukan oleh museum.  Ada banyak cara yang dapat dilakukan oleh pengelola museum. Bekerjasama dengan media setempat atau regional merupakan salah satu langkah yang cukup strategis untuk membentuk citra museum dan menyiarkan program-programnya. Cara ini sebenarnya cukup sederhana dan relatif murah, tetapi tidak banyak museum di Indonesia yang memanfaatkannya.

Billboard atau papan besar yang dipasang di tempat strategis merupakan potensi yang lain untuk meningkatkan daya tarik museum.  Bahkan, di beberapa kota besar dunia, museum juga bekerjasama dengan pelayanan angkutan umum (bus kota dan taxi) dengan memasang poster pameran museum pada badan bus atau taxi.  Dengan sering melihat poster museum pada angkutan kota, masyarakat seakan selalu diingatkan keberadaan museum, sehingga menjadi bagian dari kehidupan mereka sehari-hari.

Alternatif lain adalah melakukan pameran di luar museum, baik itu berupa pameran keliling di tempat strategis dan sekolah, maupun pameran di mall dan tempat keramaian lain.  Pada tataran yang lebih luas, pameran dapat juga dilakukan di museum lain melalui program kerjasama antar museum, sehingga mereka yang mengunjungi museum satu dapat mengetahui keberadaan museum lainnya.  Apabila kerjasama dilakukan dengan museum luar negeri, maka akan berpotensi menarik minat pengunjung dari luar negeri.  Kerjasama seperti ini sudah sering dilakukan di Indonesia, tetapi biasanya kurang menonjolkan museum tempat asal koleksi yang dipamerkan. Padahal, sesungguhnya cara itu dapat meningkatkan apresiasi dan minat untuk berkunjung ke museum asalnya.

Cara lain untuk meningkatkan minat pengunjung ke museum adalah penyelenggaraan public events atau acara-acara yang menarik masyarakat luas di museum.  Misalnya, pameran dan lomba dengan thema tertentu (menggambar, layang-layang, Harley Davidson, mainan tradisional, iptek mutakhir, dll).  Acara seperti ini akan berhasil jika pilihan themanya diminati oleh masyarakat luas, tetapi tentu tidak menyimpang dari visi dan misi museum.  Untuk itu, museum perlu melakukan penelitian. Bahkan, museum dapat memanfaatkan popularitas di bidang lain, misalnya dengan adanya film Jurasic Park, Night in Museum, Indiana Jones, Ice Age, National Treasure, Sponge Bob, dan  Upin-Ipin untuk mengangkat tema yang terkait dalam acara yang diminati masyarakat antara lain lomba membuat model hewan purba, lomba bercerita khayal tentang museum, menggambar kartun, dan aktivitas sejenis lainnya.

Website pada akhir-akhir ini menjadi salah satu media yang banyak dipakai untuk meningkatkan citra museum.  Di dalam website dapat ditampilan beberapa contoh koleksi yang menarik atau menjadi masterpiece museum.   Tentu saja tampilan website harus juga menarik, termasuk menyediakan virtual tour ke museum yang ditampilkan Kini lembaga Asia-Eropa Foundation (ASEF) telah menyediakan ruang dalam Website (portal) Culture 306 untuk menampilkan museum-museum yang ada di Asia dan Eropa. Pengelola museum di Indonesia dapat memanfaatkan ini portal ini agar menarik minat kunjungan ke museumnya.

GambarGedung museum adalah wajah dan beranda museum, karena itu harus ditata dengan menarik dan mengundang orang untuk datang. Kesan ‘museum sebagai gudang’ harus segera dihilangkan. Desain bangunan dan ruangan harus dibuat tidak redup, kusam, kumuh, dan berkesan gelap.  Kebersihan harus dijaga.  Di halaman harus dibangun suasana yang selalu segar, cerah, dan hidup dengan berbagai informasi tentang hal-hal yang dapat ditawarkan oleh museum agar orang dapat tertarik masuk ke dalamnya. Poster-poster yang menarik bisa banyak membantu menarik minat pengunjung untuk masuk.

 Memperkuat Sajian di Museum

Modal utama museum adalah koleksi dan pamerannya. Koleksi asli menjadi salah ciri museum dan orang datang karena ingin melihat benda yang sesungguhnya. Menyaksikan dan interaksi dengan benda-benda asli menciptakan rasa khusus bagi pengunjung karena seakan-akan dapat “ melihat” dan “menyentuh” masa lalu itu sendiri. Karena itu,  museum sedapat mungkin menyajikan koleksi asli di museum.

Tentu saja museum akan banyak menarik minat pengunjung, apabila koleksi itu dapat ditampilkan dengan menarik. Tata pameran harus mengundang keinginan untuk mengetahui lebih jauh, memancing pertanyaan, dan ada kesempatan berinteraksi. Pengunjung tidak saja ingin melihat benda asli, tetapi juga mempunyai pengalaman khusus yang tidak terdapat di tempat lain. Dalam rangka menyiapkan pameran yang menarik pengunjung, semestinya pengelola museum melakukan penelitian penjajagan tentang minat dan harapan masyarakat dan pengunjung.  Ada pengunjung yang menikmati hanya benda dan koleksi saja. Ada yang lebih senang pameran yang naratif (bercerita).  Ada pula yang lebih suka interaksi dan keasyikan. Yang lain lebih suka mengaitkan dan menerapkan pameran dengan kehidupan sehari-harinya atau juga untuk belajar. Bentuk pameran pun beragam dari yang pameran sederhana hingga rumit dan interaktif. Ada pengunjung yang lebih senang terlibat langsung dengan benda dan koleksi, tetapi ada juga yang lebih suka dengan mediasi (guide, alat-alat).  Di era sekarang ini kebanyakan pameran dipadukan oleh kurator, edukator, dan perancang pameran menjadi pameran yang melibatkan pengunjung dan membaurkan pengunjung dalam cara-cara yang mendidik, merangsang, dan mengubah pengunjung.  Di museum bisa juga ditawarkan pengalaman-pengalaman tambahan lain dalam acara-acara tertentu (lihat public event) dan kadang diperluas juga dengan layanan lain seperti belanja dan makan (Kotler et als. 2008).

Selain perpaduan cara penyajian, pameran museum kadang menjadi tambah menarik jika diselingi juga dengan misteri. Dalam hal ini, informasi tidak diberikan semuanya tetapi justru harus dicari dengan cara-cara tertentu yang harus ditemukan sendiri oleh pengunjung.  Misalnya saja, orang baru dapat menikmati koleksi setelah ia menemukan lubang pengintip.  Penggunaan lubang pengintip sendiri akan menciptakan rasa ingin tahu yang besar, sehingga ada tantangan bagi pengunjung.  Yang penting, pameran harus memadukan secara harmonis antara kata-kata, sensasi, dan gambar (Dean, 1996).  Suasana sensasional dapat diciptakan melalui suara (sound) maupun bau (smell) yang tentu akan sangat membantu penghayatan pengunjung terhadap tampilan. Misalnya, suara burung dan binatang lain, gemericik air, atau gumam manusia untuk menciptakan suasana hutan pada tampilan adegan perburuan oleh manusia purba. Dentuman meriam, tembakan, dan raungan mesin pesawat pada diorama peperangan. Bebauan dapat diciptakan untuk menambah suasana kontekstual, antara lain bau dedaunan, bunga, kayu, air laut dan bahkan juga bau gua prasejarah yang pengap.

Dalam kaitan dengan informasi yang disajikan, Jameson (1997) menyarankan agar informasi tentang sumberdaya itu disajikan secara gamblang, tepat, tidak pakai ungkapan muluk-muluk (jargon) dan menghibur. Sementara itu, Davis (1997) menekankan pentingnya dialog antara pengelola museum (lewat pemandu, misalnya) dengan masyarakat penikmatnya. Komunikasi ini penting untuk menyerap aspirasi pengunjung dan membantu pengunjung untuk memahami dan mengerti apa yang sebenarnya disajikan.  Karena itu, harus ada kegiatan yang interaktif antara pengelola museum dan masyarakat (pengunjung).  Tentu saja semua informasi yang disajikan pada masyarakat haruslah bersifat mendidik. Artinya, informasi yang disajikan tidak saja memberikan pengetahuan tentang masa lampau, tetapi juga bagaimana informasi itu memberikan penyadaran dan pencerahan yang memperkaya hidup pengunjung. Untuk mencapai hal itu, penyajian yang memadukan unsur pendidikan dan hiburan (konsep edutainment) merupakan pilihan strategi yang paling baik.

Saat ini ada kecenderungan museum menyajikan koleksi yang ada dalam penyimpanan (storage) secara lebih terbuka. Ruang penyimpanan disajikan sebagai vitrin kaca yang dapat dilihat oleh para pengunjung.  Bahkan, para pengunjung juga diajak untuk ikut serta meneliti dan menafsirkan koleksi yang ada dalam penyimpanan. Program seperti ini kadang menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai “participatory museum”, yang di dalam pengunjung dapat terlibat dalam pemaknaan koleksi menurut versi mereka sendiri (Tanudirjo, 2010).

Museum juga harus selalu menyajikan hal-hal yang selalu baru.  Karena itu, perlu ada pameran-pameran tidak permanen (temporary) dengan thema-thema yang disesuaikan dengan koleksi museum atau menyajikan tampilan baru dari museum lain, dengan cara pinjam meminjam koleksi.  Dengan begitu, museum tidak hanya dikunjungi satu dua kali saja, tetapi bisa berkali-kali dalam setahun oleh pengunjung yang sama sampai akhirnya mereka merasa museum sebagai bagian dari hidup mereka.

Museum akan menjadi lebih menarik untuk dikunjungi jika menyediakan program-program edukasi yang terorganisir dengan baik. Banyak museum kini menyediakan tempat khusus untuk melakukan edukasi pengunjung. Program edukasi seringkali dapat dipadukan dengan pertemuan dengan tokoh tertentu. Misalnya, pakar di bidang tertentu, perajin, pelaku sejarah, dan komunitas tertentu. Bahkan, program edukasi dapat saja dikemas dalam bentuk pertunjukan langsung (live performance) dari berbagai kegiatan seni.

Pemanduan merupakan satu aspek penting untuk menarik minat kunjungan. Karena itu, di banyak museum selalu ada kunjungan terpandu (guided tour) yang diatur pada hari-hari atau jam-jam tertentu. Sudah barang tentu, sikap dan kemahiran pemandu sangat berperan dalam menentukan keberhasilan kunjungan terpandu ini. Pemandu seringkali sangat berhasil menyampaikan informasi dan pesan-pesan, jika mereka memiliki kemampuan bercerita (story telling) yang baik. Informasi dan pesan bagi pengunjung dibawakan dengan disisipi dongeng, mitos, dan legenda, tetapi tetap dalam suasana mendidik dan bukan menakuti atau malah pembodohan.

Pelayanan Masyarakat

Sebagaimana pernah dikemukakan (Tanudirjo, 2010), museum sesungguhnya harus menjadi badi masyarakat sesuai dengan arahan dan batasan yang diberikan International Council of Museums (ICOM). Karena itu, museum dapat memberikan pelayanan-pelayanan untuk masyarakat. Salah satu bentuknya yang kini semakin berkembang adalah dalam bentuk museum komunitas. Pada dasarnya museum komunitas (community museum) adalah museum mengutamakan pada keinginan masyarakat untuk terlibat dalam proses penyajian informasi. Museum komunitas menampung berbagai kegiatan komunitas atau masyarakat sesuai dengan ekspresi mereka, sehingga cenderung mirip pusat kebudayaan (cultural centre) atau pusat komunitas (community centre). Di sini, pengunjung tidak hanya “mengonsumsi” informasi museum, tetapi juga menjadi “penghasil” karya budaya.  Sebagai contohnya, Museum Johnson County di Kansas (USA) mengundang masyarakat dan pengunjung untuk mendonasikan berbagai artefak yang mereka punya, terutama yang menunjukkan identitas etnis dan budaya mereka.  Dengan demikian, museum meluaskan jangkauannya pada peran masyarakat dalam membentuk museum dan menumbuhkan rasa ikut memiliki yang mendalam.  Bahkan Museum Sejarah Kota Missouri dijadikan sebagai tempat mengekspresikan kepedulian masyarakat pada perkembangan kota itu melalui program-programnya. Melalui museum ini sebagian kebijakan perkembangan kota dirumuskan. Program ini sering juga disebut sebagai museum sadar akan komunitas (community conscious museum, lihat Crooke, 2007)

Bentuk lain pelayanan masyarakat di museum adalah kerjasama dengan sukarelawan dan menyediakan keanggotaan museum.  Menurut Kotler et al (2008), kini banyak anak muda dan orang tua yang berkeinginan menjadi sukarelawan dan anggota museum.  Bagi mereka, kegiatan ini justru merupakan kebanggaan. Sukarelawan banyak membantu museum dengan menjadi pemandu, pengarah pengunjung, penjaga kedai museum, dan bahkan juga kerja di lapangan.  Dengan demikian, museum menjadi ajang menyalurkan minat dan hasrat mereka untuk berkiprah di bidang museum. Namun, yang lebih penting, dalam konteks menarik minat terhadap museum, mereka dapat menjadi agen yang sangat efektif menarik orang-orang yang dikenalnya menjadi peminat museum.  Di USA, pada tahun 2006 tercatat lebih dar 13 juta orang menjadi sukarelawan museum (Kotler, 2008,).  Mereka sesungguhnya merupakan asset yang amat berharga bagi museum. Para akademia dapat ditugaskan untuk menjadi pemandu, konseptor dan pembuat tata pameran, dan diajak untuk ikut serta mengembangkan program-program edukasi museum (lebih jauh baca Goodlad and McIvor, 2005, lihat juga Tanudirjo, 2010). Beberapa museum besar sekarang menawarkan wisata edutainment yang tujuannnya dapat memperdalam interpretasi dan pemahaman peserta terhadap koleksi museum tersebut. American Museum of Natural History, misalnya, sudah lebih dari 50 tahun menyelenggarakan wisata ilmiah atau ekspedisi ke tujuh benua.  Dalam kegiatan wisata ini mereka didampingi oleh staf bagian edukasi maupun para pakar di bidangnya (Kotler et al, 2008).

Bentuk pelayanan umum lainnya lebih bersifat pendukung dalam rangka memenuhi kebutuhan pengunjung yang membutuhkan layanan tambahan (lihat gambar sebelumnya). Kebutuhan tersebut antara lain café, outlet, dan kedai cinderamata. Cinderamata (souvenir) bahkan bisa menjadi daya tarik bagi pengunjung yang seringkali memang mencari barang-barang yang unik, baik untuk dikoleksi sendiri (collectible), untuk kenangan, maupun juga digunakan secara fungsional.  Karena itu, museum dapat mengembangkan bentuk cinderamata khas dengan diilhami oleh koleksi museum itu sendiri.  Bentuk layanan umum pendukung yang lebih besar, antara lain juga museum digunakan sebagai tempat konferensi, seminar, bahkan juga tempat perayaan yang ekslusif (pernikahan, peringatan tertentu, ulangtahun).  Untuk yang terakhir ini, museum perlu benar-benar mempertimbangkan untung ruginya sebelum memutuskan melaksanakan program tersebut.

Tentu saja, layanan publik yang bersifat pendukung ini bukan menjadi tujuan, tetapi sebagai sasaran perantara atau cara agar masyarakat mulai lebih mengenal museum dari yang dulunya kurang mengenalinya.  Program seperti ini termasuk bagian dari upaya mendekatkan orang yang bukan pengunjung museum ke lingkungan museum.  Harapannya, kedatangan ke museum yang pada awalnya tidak dimaksudkan untuk mengunjungi museumnya, tetapi untuk kepentingan lain, pada akhirnya akan mendorong orang yang tidak tahu museum ikut berminat untuk berkunjung ke museum. Setidaknya, ini dapat menjadi langkah awal untuk menciptakan komunitas sadar museum.

Tentu saja, beberapa kiat yang disebutkan di atas hanyalah sejumlah kecil dari banyak kiat lain untuk menarik pengunjung untuk datang ke museum. Masih ada kiat-kiat lain yang mungkin juga tidak kalah penting, dalam situasi tertentu. Namun, beberapa kiat yang telah dipikirkan tadi itudapat   menjadi pegangan dalam menentukan langkah awal yang kadang memang terasa berat.

Ainar Tri Asita, S.Sos

Departemen Antropologi Universitas Tadulako

Museum Sulawesi Tengah

inlawide@gmail.com

Daftar Rujukan

Crooke, E.  2007.  Museums and Community. Routledge

Davis, K.L.  1997.  Sites Without Sights: Interpreting Closed Exacavations, dalam J.H. Jameson (ed.), Presenting Archaeology to the Public. Altamira Press, London. Hlm. 84-98

Dean, D.  1996. Museum Exhibition : Theory and Practice. Routledge

Goodlad, S. and S. McIvor. 1998.  Museum Volunteers. Routledge

ICOM.  2006.  Code of Ethics for Museums, 2006 pada http://www.icom.org

Jameson, J. H.  1997.  Introduction : What this book is about ?, dalam J.H. Jameson (ed.), Presenting Archaeology to Public. Altamira Press. Hlm. 11-20

Kotler, N.G., P. Kotler, W. I. Kotler.  2008.  Museum Marketing and Strategy.  Jossey Bass.

Tanudirjo, D.A. 2003. Memasarkan Museum, Memasyarakatkan Museum, makalah disajikan dalam Lokakarya Mewujudkan Museum yang Marketable di Museum Ronggowarsito Desember 2003

Tanudirjo, D.A.  2009. Menuju Museum yang Peduli Pengunjung : Beberapa Gagasan untuk Menata Kembali Permuseuman Indonesia, makalah disajikan dalam Diskusi dan Komunikasi Nasional tentang Permuseuman Indonesia diselenggarakan oleh Direktorat Museum, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata di Jambi, 9 Maret 2009.

Tanudirjo, D.A.  2010. Masyarakat Disapa, Museum Dicinta, makalah disampaikan dalam Seminar Hari Museum Indonesia di Benteng Vredeburg, Yogyakarta 22 – 23 Mei 2010.

About dutamuseumsulteng

Spoker Person dalam mempromosikan Museum Sulawesi Tengah dan museum-museum di Indonesia lainnya baik dalam skala Lokal, Nasional dan Internasional | Guru Seni Budaya & Sejarah Keliling | Koreografer & Penari di Komunitas Seni Lobo (@seniLOBO) | Campaign to #GNCM | CP : +62-82323985432 | Follow : @iinainar @dutamuseum |
This entry was posted in Museum Notes. Bookmark the permalink.

Leave a comment